Menafsirkan Al-Quran dengan Bahasa Arab
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Bahasa Arab adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Muqaddimah Tafsir. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Nasrullah, M.A. pada Sabtu, 8 Shafar 1447 H / 2 Agustus 2025 M.
Kajian Islam Tentang Menafsirkan Al-Qur’an dengan Bahasa Arab
Poin Pertama: Mengapa Bahasa Arab Menjadi Sumber Tafsir
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Ini merupakan alasan utama mengapa bahasa Arab menjadi rujukan dalam menafsirkan ayat-ayatnya. Dalilnya sangat banyak. Di antaranya firman Allah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam surah Yusuf:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12]: 2)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
…وَهَٰذَا كِتَابٌ مُصَدِّقٌ لِسَانًا عَرَبِيًّا لِيُنْذِرَ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَبُشْرَىٰ لِلْمُحْسِنِينَ
“Dan Al-Qur’an ini adalah kitab yang diberkahi, yang membenarkan (kitab-kitab sebelumnya) dengan bahasa Arab, agar dia memberi peringatan kepada orang-orang zalim dan menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 12)
Ayat-ayat seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menegaskan bahwa kitab suci ini diturunkan dalam bahasa Arab. Maka tidak mungkin memisahkan antara Al-Qur’an dan bahasa Arab.
Sebagian orang, karena tidak memahami bahasa Arab, mencoba menafsirkan Al-Qur’an dari pendekatan lain, seperti berdasarkan jumlah ayat, nomor-nomor tertentu, dikaitkan dengan matematika, ilmu sains, atau teknologi. Ada pula yang menafsirkan berdasarkan bentuk huruf atau aspek-aspek lainnya. Mereka ingin berkreasi dalam tafsir. Padahal, Al-Qur’an bukan tempat untuk berkreasi seenaknya.
Jika ingin memahami dan menafsirkan Al-Qur’an secara benar, maka harus kembali kepada para ahlinya—mereka yang memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu tafsir dengan kaidah yang benar.
Poin Kedua: Salafus Shalih Kembali kepada Bahasa Arab dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Salafus shalih senantiasa kembali kepada bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tidak mungkin seseorang dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan benar tanpa memahami bahasa Arab. Salafus saleh adalah generasi yang paling memahami Al-Qur’an, dan mereka menafsirkannya dengan rujukan kepada bahasa Arab.
Salah satu contohnya telah dibahas pada pertemuan sebelumnya. Ketika para sahabat mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am [6]: 82)
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak pernah berbuat dzalim?” Ini menunjukkan bahwa mereka menafsirkan kata “dzalim” sesuai pemahaman bahasa Arab yang mereka miliki. Mereka adalah orang-orang Arab, dan secara alami memahami makna bahasa tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyalahkan pemahaman itu, melainkan meluruskannya dengan penjelasan yang benar, yaitu bahwa “dzalim” yang dimaksud bukan sekadar kedzaliman umum, melainkan kesyirikan, sebagaimana disebutkan dalam surah Luqman:
…إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengarahkan pemahaman para sahabat kepada makna yang benar, tetapi tidak menyalahkan pendekatan awal mereka yang menggunakan bahasa Arab.
Bahkan, sebagian ulama sangat menekankan pentingnya pemahaman terhadap bahasa Arab. Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala pernah mengatakan, jika ada orang yang menafsirkan Al-Qur’an tanpa memahami bahasa Arab: إِلَّا جَعَلْتُهُ نِكَالًا (Artinya: Aku akan menjadikannya sebagai pelajaran.)
Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tanpa pemahaman terhadap bahasa tersebut, seseorang rawan menyimpang dalam menafsirkan wahyu.
Perlu diperhatikan, tidak berarti seseorang yang tidak memahami bahasa Arab sama sekali tidak boleh berbicara tentang Al-Qur’an. Harus dibedakan antara orang yang menafsirkan dan orang yang menyampaikan tafsir.
Yang dibahas di sini bukanlah tentang menafsirkan, tetapi menyampaikan tafsir. Misalnya, seseorang membacakan ayat Al-Qur’an, lalu menyampaikan penjelasan tafsirnya. Dalam hal ini, ia tidak sedang menafsirkan sendiri, tetapi hanya menukil dari tafsir yang sudah ada.
Sebagian ulama, seperti Ibnu Hajar al-Haitami, ketika ditanya tentang seseorang yang berbicara mengenai Al-Qur’an tanpa memahami bahasa Arab, tidak langsung melarang secara mutlak. Berbeda halnya dengan sikap sebagian salaf yang sangat keras terhadap orang yang menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu, khususnya tanpa menguasai bahasa Arab.
Namun, bila seseorang hanya menyampaikan tafsir yang dinukil dari para ulama, maka hal itu tidak menjadi masalah. Yang dilarang adalah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan akal sendiri tanpa ilmu.
Oleh karena itu, perbedaan antara menafsirkan dan menyampaikan tafsir harus dipahami dengan benar, agar tidak terjatuh dalam larangan syar’i.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55395-menafsirkan-al-quran-dengan-bahasa-arab/